ads

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Jejak Kemanusiaan Yang Terluka

  • Bagikan

Kegelisahan eksistensial (takut akan mati) ini cukup beralasan sebab mempertahankan hidup merupakan panggilan dasar setiap manusia. Tidak ada manusia yang ingin sesegera mungkin mengakhiri hidupnya. Di hadapan situasi batas sekalipun manusia akan selalu berusaha sejauh mampu mempertahankan hidupnya. Terorisme justu menawarkan sebaliknya.

Radikalitas terorisme tentu punya alasan. Bahwa dengan membunuh semakin banyak orang, surga terrbuka lebar untuknya boleh jadi salah satu dari sekian alasan lainnya. Beberapa pemikir kontemporer, Derrida misalnya, melihat ketidakadilan dalam proses globalisasi ssebagai sebab. Sementara menurut Habermas, patologi komunikasi globallah akar persoalan terorisme.

Bagi Baudrilard, terorisme dalam konteks global adalah konsekuensi logis dari hegemoni sistem global.  Atau secara sederhana dirumuskan sebagai kejayaan globalisasi yang berperang melawan dirinya sendiri. Kejayaan globalisasilah yang memungkinkan lahirnya terorisme. Benih-benih terorisme tersemai subur dalam globalisasi dan kejayaannya.

Kejayaan globalisasi terkandung di dalamnya hegemoni sistem global. Di dalam yang global kekuatan-kekuatan singularitas terdesak dan tidak mendapat tempat sementara jalan pikiran tunggal (single track thinking) globalitas mendominasi sistem global. Homogenisasi kekuatan global mendapat legitimasinya di sini.

Keterdesakan singularitas dalam hegemoni sistem global melahirkan kekuatan heterogen sebagai reaksi terhadap pelbagai kebudayaan singular yang tenggelam dalam kejayaan globalisasi. Terorisme  sebagai kekuatan antagonis dan destruktif ini dalam kacamata Baudrilard dilihat sebagai salah satu bentuk penolakan berwajah buas dalam menentang hegemoni sistem global.

Baca Juga :  Seporsi Ayam Rica Bersama Bupati Malaka

Dalam konteks Indonesia, meminjam pemikiran Baudrilard, mungkinkah terorisme di negeri ini lahir karena adanya hegemoni sistem pemerintahan atas kekuatan singularitas terrtentu? Fenomena yang terjadi adalah sasaran terror adalah tempat-tempat ibadah dan orang-orang dari golongan agama tertentu. Apa mungkin ada hegemoni Negara atas agama?

Situasi ini kian runyam manakala gelombang penghayatan umat beragama yang cenderung konservatif dan ekslusif. Penghayatan yang demikian bukan tidak mungkin mengkondisikan lahirnya tindakan intoleran dan kekerasan atas nama agama. Sangat boleh jadi terorisme di Indonesia lahir dari situasi yang terkondisi seperti ini.

Awalnya saya berpikir bahwa mengklaim agama dan lalu mendiskreditkan agama tertentu sebagai penyebab dan bahkan mengidentikannya dengan terorisme adalah suatu cara berpikir picik dan sentimental serta menyepelekan persoalan. Jelas-jelas terror bertentangan dengan rasionalitas agama manapun. Akan tetapi itulah yang terjadi di negeri ini.

Tempat-tempat ibadah justru kerap dipakai untuk menyebarkan narasi radikalisme. Gelombang politik identitas atas nama agama sungguh terasa gaungnya. Pemimpin dipilih bukan dengan pertimbangan kualitas kepemimpinan dan kinerjanya tetapi karena pertimbangan agama. Dan justru atas nama Allah aksi terror dilancarkan. Menyedihkan memang.

Baca Juga :  Wah! Danau Kelimutu Berubah Warna

Agama merupakan sebuah elemen yang sangat sentral dalam penciptaan konflik, dalam hal ini melalui aksi teror dan radikal dari sekelompok agama tertentu. Maksudnya ialah bahwa bukan inti ajarannya yang mengajarkan konflik tetapi penghayatan pemeluknya yang ekslusif dan radikallah yang berpotensi menciptakan konflik. Terorisme salah satu contohnya.

Sejatinya agama mengajarkan kehidupan, bagaimana membangun dan menjaga kelangsungan hidup yang humanis bukan represif, destruktif dan cenderung agitatif. Agama, sebagaimana spirit deklarasi universal HAM adalah mengedepankan kehidupan. Menjunjung tinggi martabat setiap manusia, tanpa dibedakan dari suku, agama, ras dan atau golongan mana seseorang berasal.

Menyandingkan persoalan terorisme dan spirit HAM, jelas kontradiktif. Kematian dalam logika terror layak diperjuangkan sementara paham HAM memperjuangkan hak hidup. Dalam kacamata HAM terror jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

Hak asasi manusia mendasarkan legitimitasnya pada universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Dalam perspektif HAM, setiap manusia adalah tujuan dalam dirinya dan membutuhkan pengakuan dari yang lain dan dari dirinya. Dengannya, pelecehan terhadap martabat manusia dan menghilangkan hak hidup seseorang tidak pernah dapat dibenarkan.

Baca Juga :  PNS Belu Wajib Kenakan Tais Feto Setiap Kamis

Penutup 

Dihadapan fenomen pincang kemanusiaan seperti ini apa yang mesti kita lakukan? Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan ini. Adalah sebuah kemendesakan memerangi fenomena pincang kemanusiaan ini. Bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai sebuah bangsa dengan corak masyarakat yang plural (pluralistic society).

Pluralitas ini sejak dahulu telah dipersepsikan dan dikonsepsikan oleh para pendiri bangsa sebagai kekuatan. Motto negara kita  Bhinneka Tunggal Ika menjadi kristalisasi pemersatu bangsa. Itu merupakan bukti kemanunggalan kita sebagai sebuah bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. meski berbeda-beda, kita tetap satu dalam keindonesiaan.

Hans Kung, seorang pemrakarsa proyek ethos mondial mengatakan bahwa tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama-agama, dan tidak ada perdamaian antar agama-agama tanpa dialog antar-agama. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya dialog antar-agama dihadapan konflik dan Ekslusivisme mestinya ditanggalkan.

Dialog antar agama hemat saya, jika intens dilakukan dengan melibatkan banyak pihak khususnya kaum muda bakal membawa pembaruan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia. kaum muda Indonesia perlu terus diberdayakan agar tidak terjerembab dalam paham-paham radikalis dan memilih bergabung menjadi pelaku terror.

Baldus Sae – Mahasiswa Filsafat UNWIRA, Kupang

 

  • Bagikan