ads

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Sadio Mane, Kisah Sepatu Koyak Dan Celana Pendek

  • Bagikan

Perjuangan Sadio Mane tidak berhenti di trial itu. Ketika masuk ke akademi, dia harus pindah dan hidup di Dakar. Dia lalu tinggal bersama keluarga yang tidak dia kenal. “Keluargaku kenal dengan sebuah keluarga di Dakar dan mereka menerimaku di rumahnya. Mereka merawatku. Membuatnya bisa berkonsentrasi ke sepak bola sampai aku pindah ke Metz.”

Jauh dari keluarga. Tinggal bersama keluarga yang tidak dia kenal. Di usia 15 tahun. Sadio Mane meninggalkan desanya yang miskin untuk berjuang sendirian di Dakar. Banyak pesepak bola bagus di luar sana. Namun, pesepak bola kelas elite memang ditempa oleh keadaan atau lingkungan yang keras.

Alexis Sanchez, mantan pemain Arsenal, pernah menjadi buruh cuci mobil. Dia bahkan tidak punya sepatu untuk bermain bola. Ibunya menemui kepala desa. Menahan malu ketika meminta bantuan sepatu bola untuk Alexis. Sebuah pengorbanan dari seorang ibu yang berbuah manis ketika Alexis membayar pengorbanan itu.

Baca Juga :  Effective ways to get more out of basketball

Richarlison, striker Everton, lahir dan tumbuh di sebuah desa bernama Nova Venecia. Sebuah desa yang berbahaya, penuh dengan preman dan pelaku kejahatan. Richarlison menjadi pemain yang tangguh dan tidak kenal rasa takut. Baginya, lapangan sepak bola cuma seperti halaman bermain, tidak sebanding dengan pengalamannya ditodong pistol di desanya sendiri.

Satu hal menjadi benang merah di antara pesepak bola yang ditempa situasi sulit. Mereka tidak pernah lupa dengan asal. Mereka juga selalu menyimpan nama-nama yang pernah berjasa di awal karier sampai akhir hayat. Ketika dinobatkan menjadi pemain terbaik Afrika 2019, Sadio Mane langsung ingin terbang ke Senegal untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang membantunya di awal karier.

“Aku bahagia sekali atas penghargaan ini. Aku mendedikasikan penghargaan ini kepada semua orang yang membantuku memulai petualangan sejak awal perjalanan,” kata Sadio Mane seperti dikutip website resmi Liverpool.

Baca Juga :  Negara Papua Barat Ikut PIala Dunia Afrika

“Rencanaku semula adalah langsung terbang ke Senegal untuk mengucapkan terima kasih secara langsung kepada orang-orang di negaraku. Namun sayang, aku belum bisa pulang. Liverpool akan menghadapi big match melawan Tottenham di mana saya harus fokus dan siap. Jadi, secepatnya aku akan pulang karena bagiku sangat penting untuk mengucapkan terima kasih secara langsung. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan yang ditunjukkan banyak orang kepadaku, orang-orang yang percaya kepadaku dan orang-orang yang memberiku kesempatan bermain sepak bola.”

Sebuah pidato yang menyentuh hati dari Sadio Mane di podium penghargaan pemain terbaik Afrika 2019. Tahukah kamu, di malam penghargaan, desa tempat Sadio Mane berasal menggelar acara nonton bareng lewat layar besar. Ketika nama Sadio Mane dinyatakan sebagai pemenang mengalahkan Mo Salah dan Ryad Mahrez, seisi desa berdansa, penuh kebahagiaan, berbagi suka cita dengan sang pemain.

Baca Juga :  Faperta Cup, SMA Fajar Timur Haitimuk 'Bantai' SMA Efata Sulamu

Sadio Mane sudah menjadi pesepak bola kelas elite. Namun, dirinya akan tetap menjadi “sepatu koyak dan celana pendek sederhana”. Dia bermain dengan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Dia tidak lupa dengan tanggung jawab dan memberikan segalanya kapan saja. Dia rendah hati dan tidak lupa dengan akarnya. Kesederhanaan dan rendah hati yang membuatnya menjadi pemain yang mudah dicintai seperti Firmino atau Mo Salah.

Fabregas memandang Sadio Mane sebagai pemain terbaik di Inggris. Saya rasa, pandangan itu tidak salah. Pesepak bola terbaik tidak hanya diukur dari kualitasnya di atas lapangan, tetapi juga dari kualitas hati dan dedikasi. (***)

Oleh : YAMADIPATI SENO

Catatan : Tulisan ini diambil dari situs mojok.co (Link : https://mojok.co/yms/balbalan/sadio-mane-kisah-sepatu-koyak-dan-celana-pendek/)


Reporter:


  • Bagikan