ads

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Topik : ,

Apakah Dirut Atau Data Website Yang Bohong Terkait Laba Bank NTT?

Reporter : ADMINEditor: ADMIN
  • Bagikan

KUPANG,fokusnusatenggara.com- Selama dua hari terakhir masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) ramai membicarakan soal kinerja Bank NTT. Maklum, bank kebanggaan masyarakat Flobamorata tersebut berdasarkan siaran pers yang kemudian dipublish oleh beberapa media online di NTT mengatakan bahwa Bank NTT berhasil mencetak laba bersih sebesar Rp 300 Miliar pada periode Bulan September tahun Buku 2023.

Sungguh prestasi yang sangat membanggakan. Bagaimana tidak, saat diterpa isu akan pengelolaan manejemen yang bobrok, Bank NTT kembali menunjukan hasil yang baik dengan mencetak laba atau keuntungan yang luar biasa.

Namun, apakah benar menejemen Bank NTT pada September 2023 berhasil mencetak laba bersih atau keuntungan Rp 300 Miliar? Kalau sesaat kita membaca berita tersebut, kita pasti percaya dan yakin saja. Sebab yang mengeluarkan pernyataan adalah seorang Alex Riwu Kaho, Dirut Bank NTT saat ini. Namun kalau kita cermat dan teliti maka kita akan temukan perbedaan yang sangat nyata dan berbanding terbalik.

Menurut versi Dirut Bank NTT, laba yang dicapai sebesar Rp 300 Miliar. Tetapi versi website Bank NTT melalui Laporan Neraca Keuangan Per September 2023 yang bisa diakses melalui situs www.bpdntt.co.id  yang sudah dipublish ke publik, ternyata Laba Bank NTT hanya mencapai angka Rp 87 Miliar. Sungguh berbeda bukan. Lalu siapa yang harus kita percaya? Apakah data Dirut Bank NTT atau Data yang dirilis oleh Bank NTT dalam website mereka.

Dari kedua data ini antara Versi Dirut Bank NTT dan website Bank NTT mana yang harus kita percaya? Tentu yang harus dipercaya adalah laporan yang tercatat di website Bank NTT. Sebab dalam laporan neraca tersebut dicatat secara rinci akan komponen dari pendapatan selama tahun buku berjalan dikurangi komponen biaya sehingga menghasilkan laba atau keuntungan. Ini sejalan dengan prinsip ilmu akuntansi dalam menghitung laba atau keuntungan.

Baca Juga :  Farida Wannaway : Bank NTT Belum Bayar Hak Saya

Mengapa data Dirut Bank NTT kita ragukan? Jawabannya sederhana. Dalam data tersebut Dirut Bank NTT hanya menyebutkan bahwa laba yang berhasil dikumpulkan selama September 2023 sebesar Rp 300 Miliar tanpa penjelesan lengkap soal dari mana angka itu didapat dengan menggunakan prinsip perhitungan akuntasi yang kredibel.

Bahkan lebih anehnya lagi, dalam pernyataan Dirut Bank NTT tersebut, laba yang dihasilkan digunakan sebesar 55 persen untuk pembetukan CKPN atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit. Apakah benar juga bahwa 55 persen tersebut dibukukan sebagai CKPN? Lalu mengapa harus dibukukan ke CKPN?

Mari kita membaca data dan laporan keuangan berdasarkan perbandingan dari Year On Year (tahun per tahun) guna mendapat jawaban apakah penting pembentukan CKPN dalam korelasi dengan penyataan Dirut Bank NTT.

Prinsip dasar dalam ilmu akuntansi jelas dan tidak terbantahkan. Cara untuk mengetahui laba dari satu usaha entah itu usaha apa saja termasuk usaha perbankan sangat sederhana. Rumusnya adalah Pendapatan Dikurangi Biaya.

Dalam konteks menghitung laba atau keuntungan Bank NTT rumus inipun tetap berlaku. Apa itu komponen pendapatan dalam sebuah bisnis bank? Yang disebut komponen pendapatan sebuah bisnis bank secara umum ada beberapa unsur.

Antaranya, pendapatan yang didapat dari komponen pemberian kredit (Suku Bunga Kredit). Semakin besar kredit yang diberikan semakin tinggi bunga yang didapat maka semakin besar pula pendapatan yang didapat.

Baca Juga :  Paul Sinlaeloe : Soal Bank NTT, Itu Masuk Kejahatan Perbankan

Selain pendapatan bunga bank atau Interst Income, pendapatan bank juga didapat dari pemberian jasa layanan lainnya atau pendapatan non bunga Fe Based Income. Soal pemberian jasa layanan bank lainnya tergantung dengan produk yang dijual ke publik maupun nasabah.

Kalau rumusan pendapatan sudah kita ketahui saatnya kita menghitung komponen biaya dalam bisnis sebuah bank. Pengetahuan secara umum tentang komponen biaya itu terdiri dari biaya operasional yakni biaya tetap, biaya variable dan biaya operasional.

Dalam kasus neraca Bank NTT kalau kita membaca Laporan Neraca Keuangan Bank NTT kita akan simpulkan bahwa seharusnya pendapatan atau laba Bank NTT tidak berada pada angka Rp 87 Miliar.

Sebab dengan tingkat angka kredit yang mencapai Rp 12.4 Triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 2.4 Triliun dari Tahun 2020 seharusnya pendapatan meningkat, sebab pertumbuhan angka kredit cukup bagus. Pertumbuhan angka kredit yang bagus ini juga menandakan bahwa fondasi ekonomi masyarakat cukup baik.

Dengan adanya peningkatan kredit yang bagus tersebut tentu akan berdampak pada pendapatan bunga kredit yang tinggi pula. Namun mengapa laba Bank NTT hanya Rp 87 Miliar? Atau menurun jauh sekali dengan laba tahun 2020 sebesar Rp 236 Miliar dimana angka kredit hanya Rp 10,2 Triliun.

Bahkan kalau kita bandingkan dengan Year On Year pada posisi bulan yang sama sangat jauh menurun dengan September tahun 2022.  Dimana laba September tahun 2022 berada pada angka Rp 170. 4 Miliar dengan angka kredit Rp 11.5 Triliun. Artinya  kalau kita gunakan perbandingan YoY maka jelas tahun 2023 dibandingkan tahun 2022 mengalami penurunan hampir 50 persen.

Baca Juga :  Larang Manejemen Bank NTT Bertemu DPRD Adalah Provokasi [Part 2]

Dari narasi diatas dengan perbandingan data yang didapat dari situs Bank NTT dapat kita simpulkan bahwa Bank NTT di bawah manajemen Alex Riwu Kaho sebagai Dirut tidak mampu mengelola pemberian kredit dengan baik.

Pengelolaan kredit sebuah bisnis bank yang kurang baik biasanya hanya terdapat satu faktor yang mempengaruhi yakni, pemberian kredit tersebut tidak mengandung asas prudent atau asas prinsip kehati-hatian.

Pengelolaan kredit yang tidak prudent ini dapat kita lihat pada komponen tingkat NPL atau Non Performing Loan atau permasalahan pada pemberian pinjaman. Dimana pada tahun 2023 NPL Bank NTT berada pada Rp 422.638 atau 3.39 persen termasuk tinggi permasalahannya dibandingkan dengan tahun 2022 dimana NPL Bank NTT pada YOY Tahun 2022 berada pada angka 2.72 persen atau Rp 314.651 Miliar.

Lazimnya berdasarkan kebiasaan di Bank NTT angka NPL berada pada 3 persen sudah masuk kategori yang tinggi. Bahkan kebiasaan di Bank NTT berdasarkan diskusi dengan para bankers atau bekas karyawan Bank NTT apabila NPL sudah masuk pada angka 4 persen lazimnya ada kebijakan hapus buku.

Keputusan hapus buku kalau dicermati merupakan keputusan yang kurang elok saat di lain pihak, manejemen Bank NTT bisa ambil keputusan alternatif lainnya.

Terkait dengan pengelolaan kredit yang buruk berdasarkan penyebabnya dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pemberian kredit pada Bank NTT banyak dilakukan tanpa agunan dan bunga. Sebagai contoh adalah Kredit Merdeka Bank NTT.

  • Bagikan